Al kisah diceritakan,
pada tahun 1440-an ada seorang pelaut dari banjar yang sudah memeluk
agama Islam tengah melakukan pelayaran di laut Jawa, persisi di utara
desa Banjaranyar. Kapal yang tengah berlayar itu tertimpa musibah
sehungga karam di lautan. Sedangkan mbah Banjar terdampar di tepian
pantai desa Banjaranyar yang pada waktu itu masih berbnama kampong
njelaq, mbah Banjar kemudian ditolong oleh mbah Mayang Madu, seorang
penguasa di kampong njelaq yang berasal dari Solo dan merupakan penganut
ajaran agama Hindu.
Pada saat itu,
keadaan perkehidupan masyarkat njelaqmasih dipenuhi dengan berbagai
macam kepercayaan terhadapkekuatan ghaib dan roh-roh leluhur, animisme
dan dinanisme, adapun agama yang sedang berkuasa di pulau Jawa pada masa
itu adalah agama Hindu dan Budha.
Melihat kedaan dan
situasi masyarakat yang sudah terseret kedalam lembah kesesatan dan
kemusyrikan ini, beliau terketuk hatinya untuk berusaha menyebarkan
ajaran agama yang haq, yakni dienul Islam demi li ila kalimatillah. Akhirnya
beliau menetap di kampung Njelaq untuk memulai tugas sucinya.
Pertama-tama beliau mengajak Mbah Mayang Madu agar mau mengikuti
jejaknya. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan beliau berda’wah kepada
masyarakat kampong njelaq dan sekitarnya
Berkat keteguhan,
kesabaran dan ketekunan beliau dalam berjuang akhirnya beliau berhasil
meng-Islamkan Mbah Mayang Madu. Dengan masuk Islamnya Mbah Mayang Madu
maka hal ini mempunyai arti yang sangat penting bagi proses penyebaran
Islam selanjutnya, karena mbah Mayang Madulah yang menyokong dan memberi
dukungan penuh kepada baliau serta tidak segan-segan membantu mbah
Banjar demi tercapainya tujuan yang mulia itu. Untung mengenang
jasa-jasa di dalam merintis jalan dalam menyebarkan Islam di daerah
tersebut, maka desa ini yang asalnya bernama kampong njelaq, diganti
menjadi desa Banjaranyar, dengan demikian bertambah luaslah wilayah
penyebaran Islam.
Selanjutnya, beliau
bersama Mbah Mayang Madu saling bahu-membahu di dalam memperjuangkan
misi sucinya, yakini menyebarkan ajaran Illahi yang agung demi tegaknya
kalimat tauhid “laa ilaha illallah”. Dengan berbagai macam rintangan
mereka hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan dan semangat perjuangan.
Pada suatu saat, Mbah
Banjar berunding dengan Mbah Mayang Madu untuk mewujudkan keinginan
beliau yaitu mendirikan tempat pondokan di desa Banjaranyar,
namunagaknya hal tersebut menemui kendala dikarenakan tidak adanya
tenaga pengajar yang ahli dan menguasai bidang tersebut. Akhirnya Mbah
Banjar bersama dengan Mbah Mayang Madu sowan menghadap kanjeng Sunan
Ampel di Ampeldenta, Surabaya. Di sana beliau menyampaikan keinginannya
untuk nmendirikan pondok pesantren dan sekaligus mohon bantuan tenaga
pengajar yang ahli dibidang ilmu-ilmu Diniyah. Kanjeng Sunan Ampel
sangat senang mendengar tujuan beliau dan dengan senang hati beliau
mengabulkan permohonan dan berjanji akan menugaskan putranya, R. Qosim
untuk pergi ke Banjaranyar agar dapat membantu perjuangan Mbah Banjar
dan Mbah Mayang Madu di tempat tersebut.
Di situlah R. Qosim
mulai merintis pondok, tempat pendidikan Islam, sebagai bukti nyata
adalah peninggalan beliau yang berupa sumur, tempat wudlu’ (padasan)dan
musholla yang dibangun di atas pondasi bekas langgar dimana R. Qosim
mangajar yang sampai sekarang masih ada dan dapat di manfaatkan.
R. Qosim atau Kanjeng
Sunan Drajat dikenal sebagai seorang ulama’ yang berjiwa sosial tinggi,
perjuangan beliau lebih dititik beratkan pada da’wah bil hal dan
usaha-usahanya untuk meninggalkan ksejahteraan social dan upaya
mengentas kemiskinan seperti menyantuni anak yatim, faqir miskin,
menolong orang yang lemah dan sebagainya. Diantara ajaraajaran beliau
yang terkenal adalah :
- Wenehono teken marang wong kang wutho
- Wenehono mangan marang wong kang luwe
- Wenehono busono marang wong kang wudho
- Wenehono iyupan marang wong kang kudanan
- Memberikan ilmu agar orang menjadi pandai
- Berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang miskin
- Mengajari kesusilaan terhadap orang yang tidak punya rasa malu
- Memberikan perlindungan kepada orang yang lemah/menderita
hingga
saat ini ajaran-ajaran beliau tersebut sama sekali tiada bertentangan
dengan keadaan, situasi dan kondisi alam pemikiran masyarakat pada
umumnya, hal ini secara jelas menunjukan bahwa R. Qosim merupakan sebuah
figur ulama yang berpandangan luas dan jauh ke depan, berkepribadian
penyantun dan welas asih serta ucapannya penuh dengan nilai hikmah yang
tinggi.
Dalam usahanya untuk
menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, R.
Qosim juga menggunakan pendekatan seni budaya. Pendekatan ini dilakukan
dengan menggunakan metode kesenian guna menarik perhatian masyarakat
sekitar yang pada waktu itu masih beragama Hindhu-Budha. Sehingga karena
itulah beliau menciptakan tembang pangkur dan menggunakan alunan suara
gamelan atau gending untuk mengumpulkan masa di masjid yang telah
didirikan oleh Mbah Mayang Madu tersebut dinamakan masjid Nggendingan.
Demikian luwesnya R. Qosim dalam memfungsikan masjid benar-benar mengena
di masyarakat.
Adapun cara R. Qosim
untuk menarik minat masyarakat agar mau mempelajari dan mendalami ilmu
diniyah, maka beliau menjanjikan bagi siapa saja yang mau belajar
kepadanya bahwa ia akan mempaeroleh derajat yang luhur. Maka dari itu
tempat di mana beliau mengajar ilmu agama tersebut dinamakan dengan
rumah Drajat.
Tidak beberapa lama kemudian Mbah Banjar berpulang ke Rahmatullah. Beliau dimakamkan di desa Banjaranyar bagian utara.
Beberapa tahun
kemudian, Mbah Mayang Madu pun wafat, beliau dimakamkan di belakang
masjid Jelaq dan mendapat julukan Sunan Jelaq.
Sepeninggalan Mbah
Banjar dan Mbah Mayang Madu, maka tinggallah Kanjeng Sunan Drajat yang
melanjutkan usaha-usaha yang sebelumnya dirintis oleh beliau bersama
almarhum.
Dalam perjuangannya
beliau dibantu oleh para santrinya yang menjadi pembantu setia dalam
mengemban misi. Suka duka perjuangan silih berganti mewarnai kehidupan
Kanjeng Sunan Drajat dan para santrinya di Banjaranyar. Masa-masa sulit
beliau jalani dengan tabah dan tawakal. Saegala macam rintangan dan
halangan yang dating silih berganti dari orang-orang yang iri dan dengki
serta usaha-usaha yang dilakukan untuk menjegal perjuangan, beliau
hadapi dengan tenang.
Pernah suatu hari
beliau dilempari batu oleh penduduk desa setempat ketika sedang
berda’wah, namun beliau tetap bersiteguh untuk berjuang di jalan Allah
swt. Dan untuk mengenang peristiwa tersebut, maka kampung tersebut
dinamakan kampung Mbandilan yang sekarang telah menjadi areal pondok
pesantren Sunan Drajat pula.
Waktupun terus
berlalu, kian hari perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar
mengalami kemajuan yang sangat pesat, sikap permusuhan yang dating dari
para penduduk berubah menjadi kecintaan yang dalam. Para pemuda banyak
yang berdatangan dari daerah-daerah ke pondok pesantren guna menimba
ilmu agama kepada beliau. Mereka itulah yang kemudian dikader menjadi
para da’I dan mubaligh yang tangguh, tabah dan berkompeten lalu
disebarkan kepelosok negeri atau kembali ke kampung halamannya sambil
membawa misi Islam.
Keberhasilan
perjuangan Kanjng Sunan Drajat di Banjaranyar tidaklah membuat beliau
menjadi puas, lalu duduk berpangku tangan sambil berongkang-ongkang kaki
menikmati hasil perjuangannya, akan tetapi hal tersebut justru
mendorong beliau untuk lebih giat dalam mengembangkan agama Islam tempat
lain. Karena itulah, beliau membangun sebuah masjid di kamoung sentoro
yang letaknya persis di sebelah timur komplek makam Sunan Drajat,
seabagai tempat beliau memberikan pengajian mengajar dan emndidik para
santrinya. Desa di mana beliau mendirikan masjid tersebut akhirnya
diberi nama desa Drajat, adapun masjid yang telah dibangun Kanjeng sunan
Drajat sendiri pada tahun 1424 Jawa atau 1502 M. kini telah musnah
akibat gempa bumi yang pernah terjadi dua ratus tahun yang silam, namun
sebagai gantinya, di tempat tersebut kini telah didirikan masjid yang
direnovasi sebagaiman bentuk aslinya.
Pada masa Kanjeng
Sunan Drajat inilah desa Banjaranyar, Drajat dan sekitarnya menjadi
sentral pendidikan dan aktifitas keagamaan serta menjadi mercusuar
penyebaran Islam di daerah pesisir pantai utara khususnya di daerah
Paciran. Akhirnya beliau wafat pada tanggal 25 Sya’ban dan dimakamkan di
belakang masjid tempat beliau mengajar sebagaimana yang telah kita
saksikan saat ini.
Dalam kehidupan
berumah tangga. Kanjeng Sunan Drajat mempunyai dua istri beliau yang
pertama adlah putrid Mbah Mayang Maduyang makamnya terletak di belakanhg
masjid Jelaq, Banjaranyar dank arena itulah setelah Mbah Mayang Madu
meninggal. Kanjeng Sunan Drajat mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu.
Adapun istri beliau yang kedua adalah seorang putri Kediri yang bernama
Retno Condro Sekar Putri Adipati Surya dilaga, beliau dimakamkan
berdampingan dengan makam Kanjeng Sunan Drajat. Dari kedua istri beliau
inilah Kanjeng Sunan Drajat mendapat keturunan yang akhirnya berkembang
dalam suatu keluarga besar yang tersebar hingga saat ini.
Sepeninggalan Kanjeng
Sunan Drajat. Tongkat estafet perjuangan diteruskan oleh para keturunan
beliau. Namun lambat laun, perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar
mengalami kemunduran seiring dengan perjalananwaktu dan akhirnya lenyap
tanpa bekas, yang tertinggal hanya pondasi bekas musholla dan sumur
yang tertimbun tanah sebagai saksi bisu terhadap sejarah yang pernah
tergores di atasnya. Keadaan tatanan kehidupan masyarakat pada waktu itu
benar-benar memprihatinkan. Tempat di masa Islam pertama kali
berkembang, saat itu telah menjadi pusat kegiatan kemaksiatan dan
kemusyrikan. Di dersa Banjaranyar muncullah beberapa tempat pelacuran,
gedung-gedung pertunjukan yang menjadi ajang kemungkarang, munculnya
beberapa germo dan Bandar judi nyang terkenal di daerah pesisir utara
pada masa itu. Bahkan tanah bekas pondok pesantren yang didirikan oleh
Kanjeng Sunan Drajat dijadikan sebagai tempat pemujaan. Namun
kejadian-kejadian tersebut segera berakhir setelah di tanah bekas pondok
tersebut didirikan kembali pondok pesantren yang bertujuan untuk
meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh Wali songo.
Pada tahunn 1977,
berdirilah “pondok pesantren Sunan Drajat” dengan pengasuh tunggal serta
generasi muda, beliau inilah sebagai penerus dan pembangkit
tenggelamnya sejarah dan penyebar Islam.
Siapakah beliau
tersebut? Tidak lain adalah Prof. DR. KH. Abdul Ghofur. Dengan malang
melintang serta usaha yang tak kunjung padam, sehingga saat ini
perkembangan pondok pesantren Sunan Drajat semakin mencuat dan maju
sebagaiman tuntunan zaman. Perkembangan tersebut sengaja tidak kami
muat, agar pembaca melihat sendiri dari dekat.
Demikianlah sekilas
hikayat sejarah masuknya agama Islam dan perkebangannya di pesisir
pantai utara kabupaten Lamongan khususnya di wilayah Paciran yang tidak
lepas kaitannya dari perjuangan dan jasa Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu
dan Wali songo, dalam hal ini adalah Kanjeng Sunan Drajat atau Sunan
Mayang Madu. Karena itulah untuk mengenang jasa-jasa beliau semua, maka
di setiap tanggal 23-24 Sya’ban pondok pesantren mengadakan acar Haul
akbar yang bersamaan dengan acara haulnya Mbah Martokan, ayahanda Romo
K.H. Abdul Ghofur.